Senin, 29 Desember 2008

Memandang Jembrana dari Timor

Minggu terakhir Nopember yang lalu, saya diundang ke Kota Kupang – NTT untuk menghadiri acara Konsolidasi Bhinneka Tunggal Ika Regio Sunda Kecil, Provinsi Papua dan Papua Barat. Di sela-sela padatnya acara selama empat hari tersebut, saya sempat berkeliling kota Kupang dan sekitarnya, bertemu dengan masyarakat setempat untuk melakukan “studi banding kecil-kecilan”, memperbandingkan wilayah Kotamadya Kupang dengan Kabupaten Jembrana tanah kelahiran dan tempat tinggal saya. Berikut ini adalah catatan kecil saya dari Kupang.

TENTU saja sungguh berbeda antara Kabupaten Jembrana dan Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya Pulau Timor. Jembrana yang sebagian kawasannya adalah hutan, persawahan, perkebunan dan pantai, tampak begitu hijau sebagaimana kawasan lain di Bali, sementara sebagian besar kawasan Timor terlihat lebih coklat karena tanahnya berkarang dengan cuaca yang lebih panas. Tanah Jembrana dengan mudah menerima tanaman apa saja, sedangkan tanah Timor hanya bisa menghidupi tanaman tertentu yang harus lebih kuat terhadap kekeringan. Perkebunan di Jembrana bisa ditanami setiap saat, lalu persawahannya bisa ditanami secara teratur minimal dua kali dalam setahun karena didukung sistem irigasi yang tertata baik serta masa penghujan yang lebih panjang, tetapi di Timor pertanian sepenuhnya dilakukan dengan pola tadah hujan.

Di bidang pembangunan fisik, perbedaan antara Kabupaten Jembrana dan Timor sangatlah terasa. Sebagaimana sebagian besar kawasan timur Indonesia, Timor adalah salah satu yang terkesan terlupakan, termarginalkan dari obsesi pembangunan nasional. Padahal, seperti yang dituturkan oleh para elit setempat di Timor, kawasan ini merupakan pintu gerbang selatan Indonesia, dan juga memiliki potensi tidak sedikit untuk menyumbang kas negara, baik dari potensi kelautan, perkayuan (cendana salah satunya), maupun potensi pertambangan. Timor menyimpan kekayaan alam seperti minyak bumi, uranium, mangaan, pasir, batu marmer, kerakal berwarna, pulau2 nan indah, kain ikat dll. Hanya saja, seluruh potensi tersebut hingga kini masih belum terkelola secara optimal, bahkan sebagiannya barangkali terlanjur tergadai kepada negara tertentu atau pemilik modal entah dari mana.

Itulah sebabnya, infrastruktur penopang birokrasi, penopang perekonomian hingga penopang pendidikan masyarakat di Timor jauh ketinggalan. 90 persen kondisi jalan raya di Kupang sebagai ibukota provinsi, sepanjang tahun dalam kondisi rusak serta tidak tertata. Pendek kata, di Timor dan kota Kupang, kita akan mendapatkan pemandangan betapa timpangnya pembangunan di negeri ini.

Otonomi Daerah
Tetapi sejatinya, untuk saat ini tidaklah terlalu salah untuk memperbandingkan Kabupaten Jembrana dengan NTT (Timor) atau daerah mana pun di tanah air. Sebab sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah dan dihapusnya sentralisasi birokrasi pemerintahan di Jakarta, toh setiap daerah (seharusnya) memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk mengelola kawasannya sendiri. Dan Kabupaten Jembrana pra-otonomi daerah, kondisinya toh juga sama persis dengan daerah-daerah lain yang senantiasa termarginalkan, terlupakan dari proses besar pembangunan regional maupun nasional.

Dengan mudah kita bisa mengingat, bahwa dulu Kabupaten Jembrana adalah salah satu kabupaten miskin di Bali yang tak punya daya apa-apa untuk menolong dirinya sendiri. Dengan pertanian sebagai satu-satunya potensi yang dimiliki tetapi mesti selalu tunduk dengan kebijakan-kebijakan sentral di Jakarta, Jembrana saat itu bahkan malu untuk mengatakan dirinya sebagai bagian dari surga dunia bernama Bali. Karena sekali lagi, ketimpangan pembangunan dan ketakberdayaan secara lokal, merupakan penyakit akut kabupaten paling barat provinsi Bali ini saat itu.

Mengutip pernyataan yang sering dilontarkan Bupati Jembrana, Prof. I Gede Winasa, bahwa era otonomi daerah sejatinya adalah anugerah bagi setiap daerah di Indonesia. Dan idealnya memang demikian. Karena, di samping mendapat kesempatan luas untuk mengelola sendiri segala potensi lokal yang dimiliki, setiap daerah (terutama kabupaten) di Indonesia pun mendapat jatah yang sama proporsinya dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus (DAK). Dan Kabupaten Jembrana sebagai daerah minus potensi sumber daya alam, semata-mata hanya mengandalkan DAU dan DAK untuk bangkit mengejar ketertinggalannya. Sementara itu, potensi lokal yang bisa diberdayakan di Jembrana ternyata tidaklah lebih dari hanya berupa optimalisasi pengelolaan di bidang perpajakan lokal serta jasa parkir.

Bermodal Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang di awal era otda hanya berkisar 4 atau 5 milyar, kemudian ditambah DAU dan DAK, Kabupaten Jembrana berbenah diri. Bahwa kemudian, otonomi daerah oleh Kabupaten Jembrana diperlakukan sebagai momentum untuk mengembalikan kadaulatan rakyat atas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apa yang dimaksud kedaulatan rakyat? Tiada lain adalah kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih adil dan terasa nyaman, yang pada tataran dasarnya meliputi hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan, serta hak atas peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Ketiga hak dasar masyarakat ini, oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana diwujudkan melalui program subsidi biaya pendidikan (SPP Gratis), subsidi biaya kesehatan (asuransi kesehatan masyarakat) serta peningkatan daya beli masyarakat dengan motivasi yang konsisten terhadap pengembangan entrepreneurship masyarakat itu sendiri.

Begitulah kemudian Pemerintah Kabupaten Jembrana bersama masyarakatnya mewujudkan sekaligus menikmati setiap tapak pembangunan secara bersama-sama, secara proporsional dan sedapat-dapatnya berkeadilan. “Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa Kabupaten Jembrana saat ini memang merupakan inspirasi pembangunan bagi negeri ini,” demikian Sugi Lanus seorang aktivis pada sebuah obrolan seputar otda belum lama ini.

Politis
Tetapi sebuah negara, sebuah wilayah, adalah politik. Segala yang ada dan berlaku di dalamnya diatur dan dinegosiasi melalui proses politik. Dan untuk selera Indonesia, politik belumlah tentu merupakan representasi kebersamaan antara pemerintah (pengelola negara) dengan masyarakat (rakyat).

Maka apa yang terjadi di Jembrana, kendati sejauh ini pembangunan peningkatan kesejahteraan bersama jelas-jelas menunjukkan “keberhasilan” (setidaknya dalam definisi Indonesia), toh belum ada daerah lain yang mencoba untuk memanutinya. Ribuan studi atas fenomena Jembrana telah dilakukan oleh berbagai daerah kabupaten, provinsi, lembaga pemerintah, legislatif, LSM serta lembaga lainnya yang ada di tanah air, tetapi toh semua itu berhenti hanya pada catatan masing-masing lembaga tersebut sebagai sebuah kenangan perjalanan wisata. Sementara untuk mengimplementasikannya di daerah masing-masing, sampai saat ini kita belum melihat adanya keiklasan dari masing-masing pemimpin atau para kepala daerah yang pernah melakukan studi ke Jembrana tersebut.

Sekali lagi, “karena mereka (daerah lain), tidak memahami filosofi politik pembangunan yang dilakukan Jembrana,” demikian Bupati Winasa. Dan ini terbukti dari apresiasi yang disampaikan seorang pejabat pemerintah di Kabupaten Kupang – Timor atas Jembrana. “Jembrana memang sudah terbukti, tetapi belum teruji!”

Yang dimaksud oleh seorang pejabat pemerintah di Kupang ini adalah, bahwa keberhasilan pembangunan di Kabupaten Jembrana saat ini semata-mata karena tangan dingin seorang Prof. Winasa sebagai pemimpin pemerintahan alias bupati. Seorang bupati yang dengan kaca mata kekuasaannya berhasil membaca dan memahami keberadaan serta kebutuhan mendasar masyarakatnya secara sederhana tetapi mengena pada sasaran. “Tetapi bagaimana jika nanti Prof. Winasa berhenti menjadi bupati? Apakah penggantinya juga akan mampu seperti dia mengendalikan birokrasi pemerintahan menjadi pelayan masyarakat seperti saat ini? Inilah yang belum teruji!” demikian pejabat tersebut dengan raut muka serius.

“Karena apa yang dicapai oleh Kabupaten Jembrana saat ini adalah sebuah keniscayaan ketika seorang pemimpin atau penguasa secara iklas menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengembalikan kedaualatan rakyatnya. Dan ini pasti punya resiko yang besar. Pemimpin semacam Pak Winasa bisa jadi akan dituduh sebagai tangan besi oleh lawan-lawan politiknya karena dia tidak punya kompromi politik dengan legislatif misalnya, selain berkompromi dengan kebutuhan kesejahteraan rakyatnya. Dan di negeri ini, pejabat atau pemimpin mana yang berani tidak berkompromi politik terutama dengan hegemoni partai politik mayoritas? Tidak ada!” lanjutnya.

Di sisi lain, lanjut pejabat yang tak mau disebutkan namanya itu, kebijakan yang oleh Pak Winasa diterapkan di Jembrana telah “mengganggu” sistem yang sudah mapan selama ini. Entah itu sistem manajemen keuangan, sistem tatapemerintahan atau birokrasi yang baku, dan lain sebagainya. Sementara itu, tidak akan ada pejabat atau penguasa lain di negeri ini yang rela mengganggu sistem untuk bisa berbagi dengan rakyatnya. Bagi pejabat atau penguasa lain, inovasi yang dilakukan Pak Winasa ini justru merugikan kekuasaan itu sendiri. Jadi hal ini merupakan resiko yang cukup riskan jika nanti jabatan Pak Winasa sebagai bupati berakhir. “Pertanyaan kuncinya adalah, akan adakah penguasa lain yang nanti mampu menjalankan inovasi yang digagas dan dilakukan Kabupaten Jembrana pasca Bupati Winasa? Jadi, ujian belum datang, dan kita semua akan melihat apakah nanti Jembrana lulus dari ujian tersebut? Bahkan kalau lulus yang artinya sudah teruji pun, belum tentu akan banyak daerah yang iklas mengikuti jejak Jembrana!” pungkas pejabat yang cukup dikenal kritis di Kupang tersebut.

nanoq da kansas

Rabu, 10 Desember 2008

Menghampiri Romantika Kehidupan Nelayan di Pengambengan dan Cupel, Jembrana-Bali

KEHIDUPAN nelayan selalu identik dengan kemiskinan. Identik dengan serba kekurangan. Untuk ukuran Indonesia, persepsi ini memang tak dapat dibantah. Karena untuk di Indonesia, profesi nelayan memang profesi pilihan bagi orang-orang pesisir yang tak punya tanah atau kebun atau sawah, tak punya modal, tak punya pekerjaan tetap, dan tak punya keahlian. Nelayan di Indonesia adalah orang-orang yang tidak pernah berpendidikan cukup, tidak kreatif, selain hanya bisa mendayung dan menebar jaring.

Banyak orang menggerutu. Nelayan itu seharusnya cepat kaya. Karena mereka bekerja nyaris tanpa modal. Tak perlu merawat lautan seperti halnya petani merawat dan memupuk kebun atau sawahnya. Nelayan tak perlu memberi makan ikan-ikan di samudera seperti halnya peternak harus memberi makan sapi-sapi, kerbau, kambing, babi, ayam dan seterusnya. Nelayan tinggal mengambil hasil laut, bawa ke daratan, lalu menjualnya.

Desa Pengambengan dan Desa Cupel di Kecamatan Negara, Jembrana, adalah contoh riil romantika kehidupan para nelayan di Indonesia. Hampir seratus persen penduduk lokal kedua desa di pesisir selatan Kabupaten Jembrana ini berprofesi sebagai nelayan. Maka kedua desa itu pula telah bertahun-tahun menjadi pusat perikanan di Bali. Hasil laut dikumpulkan di sini, baru kemudian dijual ke berbagai penjuru Bali dan bahkan Jawa, sebagian besar lagi disetor ke pabrik-pabrik pengalengan yang bertebaran di kedua desa itu pula. Setiap hari, terutama di musim panen raya, jutaan ekor ikan, ribuan ton ikan, ditransaksikan di sini. Modal yang berputar pun bukan lagi jutaan, tetapi milyaran dalam satu bulan.

Tetapi kembali kepada persepsi di atas tadi, kenapa para nelayan itu sepanjang jaman tetap saja menjadi orang miskin atau merasa miskin? Siapa pemilik modal milyaran yang berputar tiap hari itu? Siapa punya perahu-perahu besar yang setiap hari mengarungi samudera lepas itu? Siapa yang menebar bangunan-bangunan megah pabrik-pabrik pengalengan dan penepungan yang selalu mengepulkan asap itu? Dan, siapa yang punya truk-truk tronton, mobil-mobil mewah yang berlalu-lalang di jalan-jalan berbau amis kedua desa itu?

Yang jelas bukan mereka para nelayan berkulit gelap dengan mimik wajah yang susah itu. Sekali lagi, para nelayan tetaplah hanya para penangkap ikan. Mereka hanya tukang penebar jaring yang saban malam harus mengarungi samudera meninggalkan anak-istri di rumah-rumah lembab sepanjang pantai. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya naik mobil-mobil mewah itu, mereka tak pernah berani membayangkan bagaimana rasanya suatu saat punya truk tronton, punya pabrik pengalengan, atau bahkan punya sebuah perahu saja. Mereka hanya berpikir, semoga nanti mendapat tangkapan yang melimpah sehingga esok hari bisa dapat uang lebih dari para juragan pemilik perahu. Itu saja!

***

MENURUT Muhammad Hazin, nelayan sekaligus seorang ketua kelompok nelayan di Desa Cupel, modal untuk menjadi seorang nelayan sungguh tidak kecil. Untuk membuat jaring saja membutuhkan biaya sekitar Rp. 10 juta. Untuk membeli mesin minimal menghabiskan dana Rp. 3 juta. Kira-kira biaya keseluruhan untuk perahu yang kecil (jukung) saja bisa menghabiskan dana Rp. 5-10 juta.

Dan inilah persoalannya. Karena para nelayan pada dasarnya adalah warga masyarakat pesisir yang hanya punya modal kaki dan tangan, maka modal dana untuk perlengkapan melaut harus meminjam dulu dari pihak lain. Sekarang, modal untuk nelayan kelas jukung bisa dipinjam dari bank. Tetapi dulu, dalam waktu yang cukup lama nelayan hanya bisa mengharap modal dari para orang-orang kaya di sekitar pesisir. Orang-orang kaya yang memberi modal itu tiada lain adalah para juragan yang biasa membeli ikan-ikan tangkapan nelayan untuk dijual kembali ke berbagai penjuru. Dan mudah ditebak, apabila para nelayan sudah punya hutang kepada para juragan tersebut, maka kendali sudah pasti pula berada di tangan sang juragan. Mau dibeli dengan harga berapapun ikan hasil tangkapan, nelayan lebih banyak pasrahnya.

Ini terjadi bertahun-tahun. Dan para juragan adalah orang-orang yang jauh lebih pintar, lebih lihai dalam hal memenej modal. Mereka tidak akan dengan mudah mau melepas para nelayan dari jaring-jaring kapitalnya. Ada saja cara, bagaimana untuk bisa terus-menerus mengikat para nelayan agar seolah-olah berhutang. Cara yang paling mudah adalah dengan seolah-olah memanjakan para nelayan itu sendiri.

Soal pendapatan, khusus nelayan di Desa Pengambengan yang berpenduduk 9.648 jiwa dan yang berprofesi nelayan sekitar 2.315 orang, mampu mengumpulkan hasil tangkapan 41.472.000 tin ikan kecil (lemuru dan sejenisnya) dan 5.250 ton lebih ikan tongkol tiap tahun. Sementara ikan hasil kolam atau tambak 16.150 ton per-tahun. Tangkapan ini memberi kontribusi yang cukup besar, baik sebagai penghasilan maupun kontribusi kepada daerah. Apalagi sejak dibangunnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan dirampungkannya dermaga ikan terbesar di Indonesia di Pengambengan. Para Nelayan Pengambengan mampu melakukan transaksi kurang lebih Rp. 31.124.000.000 per-tahun.

Karena kebiasaan mengarungi samudera hingga berhari-hari, para nelayan pun kerapkali lupa daratan. Masa panen raya dipahami hanya sebagai masa berfoya. Belum turun ikan dari perahu atau jukung, sederet barang-barang mewah sudah menunggu di bilik rumah. Televisi besar, tape dan radio besar, perabotan dan furniture buatan pabrik, sepeda motor keluaran terbaru dan sejenisnya sudah menunggu. Semua itu dibayarin para juragan dulu. Selanjutnya nelayan boleh mencicil atau kontan sesuai hasil tangkapan. Besok melaut lagi, karena di toko perhiasan masih banyak lagi barang-barang baru.

“Kelemahan dan ketakberdayaan untuk memenej penghasilan, itulah musuh nasib para nelayan. Berapa pun penghasilan mereka, akan langsung habis begitu tiba di daratan. Mereka seolah tak peduli hari esok, tak peduli untuk menabung, setiap penghasilan harus dihabiskan hari itu juga. Ya, barangkali karena mereka bisa mendapatkan ikan-ikan dengan begitu saja tanpa pernah merasakan bagaimana memelihara. Jadi, kemiskinan para nelayan lebih disebabkan oleh mental yang tidak profesional. Dan hal itu dimanfaatkan oleh para pemilik modal besar,” demikian para pakar berkomentar.

Hal ini diakui oleh Kepala Desa Pengambengan H. Asmuni Taryadi. “Bagaimana lagi ya? Sebagai nelayan, mereka jarang di darat. Kalau di darat mereka butuh hiburan. Sementara itu fasilitas hiburan di sini tak ada. Maka para nelayan lebih suka ke kota setiap kali habis melaut. Uang penghasilan mereka dihabiskan untuk membeli barang-barang yang bersifat hiburan,” demikian Asmuni. Padahal menurut Muhammad Hazin, penghasilan nelayan di masa panen raya memang berlimpah. “Kami bisa mencapai jutaan rupiah, terkadang sampai lima juta dalam sekali berlayar,” ujarnya sambil tertawa.

Satu hal lagi yang menjadi permasalahan pada Nelayan Pengambengan maupun Cupel adalah tingkat pendidikan. Di sini, warga masyarakat yang dewasa rata-rata kesadaran penduduk untuk menuntut ilmu sangat kurang. Rata-rata mereka hanya tamatan SD, jadi mereka gampang sekali ditipu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan para tengkulak,” Demikian Kepala Desa Asmuni.

Maka bukan cerita yang aneh bila panen raya berakhir para nelayan di Pengambengan maupun Cupel mendadak kelimpungan. Mereka mengatakan itu masa paceklik, padahal sebenarnya hanyalah siklus biasa yang niscaya terjadi setiap putaran tahun. Masa paceklik sejatinya hanyalah masa ikan-ikan besar habis dan yang kecil menunggu besar. Tetapi para nelayan di Pengambengan dan Cupel merasa hidup seolah berakhir. Barang-barang mahal yang sudah terbeli, terpaksa dijual miring bahkan diobral hanya untuk memenuhi kebutuhan makan atau mungkin membayar tagihan hutang yang tak sempat terbayar di masa panen. Semua kembali mengeluh dan pasrah pada kemiskinan yang melekat. Hasil tangkapan di masa panen raya tak berbekas untuk berjaga-jaga di masa paceklik.


nanoq da kansas

Selasa, 09 Desember 2008

Hulu – Hilir Pertanian Kita

Apakah yang dimaksud dengan “hulu – hilir” pertanian? Tiada lain adalah proses yang berlangsung mulai dari penanaman di kebun atau sawah, pemeliharaan tanaman, masa panen, kemudian pengolahan hingga pemasaran hasil-hasil pertanian itu sendiri.

Terobosan untuk keutuhan proses inilah yang sudah hampir tujuh tahun dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana bagi para petani. Karena yang selalu terjadi selama ini adalah, proses hulu-hilir pertanian tradisional yang selalu terpenggal sehingga target pencapaian hasil yang ideal tidak pernah dirasakan petani.

Bahwa selama ini petani hanya mengenal masa tanam, masa pemeliharaan, masa panen, lalu penjualan hasil. Proses pengolahan hasil panen selalu dipenggal atau ditinggalkan karena tekonologi dan infrastrukturnya mereka tidak punya.

Dengan siklus yang terpenggal seperti ini, akhirnya petani tidak pernah punya daya tawar apa-apa terhadap nasib hasil pertanian mereka yang sepenuhnya berada di tangan pembeli. Getirnya lagi, pembeli di sini selalu hanya terbatas kepada para pengepul lokalan yang sejatinya juga tak punya daya tawar apa-apa terhadap para pemilik modal di lingkup pasar yang lebih luas.

Untuk mengimplementasikan langkah-langkah proteksi pertanian dan petani ini, pemerintah daerah kemudian dengan gencar memberikan pendampingan kepada para petani, sekaligus berusaha mengadakan infrastruktur pendukungnya. Seluruh Koperasi Unit Desa (KUD) di Jembrana mendapat fasilitas dana talangan dari pemerintah daerah agar senantiasa mampu membeli hasil-hasil pertanian di Jembrana ketika panen raya tiba. Karena seperti sudah lazimnya bahwa setiap panen raya harga hasil pertanian selalu anjlok hingga di bawah normal. Dan di sinilah petani tidak punya daya tawar kepada pasar selain hanya menyerah. Yang penting hasil panen terjual, soal harga silahkan para pengepul yang menentukan. Karena jika tidak dijual dengan segera, para petani tidak punya tempat untuk menyimpan hasil-hasil pertaniannya sehingga akan membusuk. Di samping itu, petani juga dikejar oleh tagihan biaya yang dihabiskan selama masa tanam dan masa pemeliharaan. Dan yang paling krusial, para petani tidak memiliki persediaan apapun untuk biaya hidup sehari-hari jika tidak segera menjual hasil panenannya.

Di samping proteksi untuk masa panen, belakangan pemerintah daerah juga memberikan motivasi para petani untuk mulai saat ini juga menyelamatkan tanah pertanian dari kerusakan parah akibat penggunaan pupuk kimia atau anorganik. Implementasi untuk hal ini adalah dengan membangun unit pengolahan pupuk organik bagi kebutuhan secara massal, serta memotivasi para petani secara individu agar mampu mengolah limbah pertanian serta membuat pupuk organik sendiri untuk kebutuhan skala kecil.

Perilaku Petani
Tetapi urusan petani dan pertanian memang tidaklah semudah teori atau gagasan. Dalam rentang waktu sekian, toh mesti diakui bahwa tidak banyak yang berubah dalam perilaku petani dan pertanian kita. Dalam implementasi penyelamatan lahan dari kerusakan akibat pupuk kimia berkepanjangan, para petani tampaknya belum sepenuhnya kompak. Setiap masa tanam dan masa pemeliharaan, kenyataan di lapangan menunjukkan betapa masih besarnya minat para petani terhadap pupuk kimia.

Ada beberapa alasan para petani untuk hal ini. Pertama, pupuk kimia lebih mudah didapat dengan membeli, sementara jumlah produksi pupuk organik lokal masih jauh dari mencukupi. Petani juga tidak punya cukup waktu untuk membuat pupuk organik sendiri dalam jumlah banyak karena waktu mereka habis untuk mengolah lahan agar siap ditanami, serta habis oleh berbagai kegiatan sosial yang berlaku di lingkungan mereka. Karena kehidupan petani tradisional tidaklah melulu hanya pada urusan kebun atau sawah, tidak melulu hanya urusan tanam-pelihara-panen, tetapi waktu yang mereka miliki sebagian besar juga harus diserahkan kepada lingkungan sosial, lingkungan adat serta kehidupan keagamaan yang mereka yakini.

Di samping itu, secara umum para petani juga masih meyakini bahwa varietas tanaman yang ada saat ini lebih cocok diberi pupuk anorganik daripada pupuk organik. Karena kendati pupuk kimia dapat merusak struktur lahan atau tanah, toh mampu memberikan hasil nyata yang lebih cepat.

Sementara pada upaya pemerintah memproteksi para petani dan hasil-hasil pertanian mereka dari perlakuan semena-mena pasar, yakni dengan membangun serta menjaga siklus pertanian secara utuh dari hulu hingga hilir, belumlah berjalan dengan ideal. Berbagai alasan dan kendala toh belum juga pupus di lapangan.

Pengolahan biji kakao hingga menjadi minyak dan tepung misalnya, ternyata tidak mudah dalam prakteknya. Lemahnya sumber daya manusia (SDM) tentu saja menjadi kendala utama. Terutama apabila suatu usaha digagas, dibangun dan diatur pemerintah, entah kenapa SDM yang ada di dalamnya tidak optimal dan maksimal melakukan tugasnya. Yang tidak masuk akal, dalih mereka seringkali bermuara pada keterbatasan dana yang disediakan.

Jangankan pada tingkatan proses pengolahan hasil seperti di atas, pada tingkatan memproteksi harga hasil pertanian saja, gagasan bagus pemerintah hampir selalu berantakan setelah implementasi di lapangan. Suka atau tidak, harus diakui bahwa koperasi bentukan pemerintah atau koperasi yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah untuk membeli hasil-hasil pertanian, selalu kandas di tengah jalan. Kandas karena alamiah atau dikandaskan oleh oknum-oknum di dalamnya, semua tidak jelas. Dana ratusan juta rupiah seolah-olah menjadi tidak ada artinya karena koperasi ternyata tidak mampu membeli hasil-hasil pertanian secara profesional. Bandingkan misalnya dengan seorang pengepul atau pembeli biji kakao eceran yang sampai saat ini terbukti tetap bertahan dan makin maju di desa-desa. Modal awal mereka tidak seberapa. Hanya sebuah sepeda motor butut, beberapa karung bekas dan uang yang tak lebih dari lima juta, mereka setiap hari keliling ke rumah-rumah petani, mereka terbukti bisa survive. Dan yang penting digarisbawahi, bahwa ternyata para pengepul ini bisa membeli biji kakao para petani dengan harga lebih mahal daripada koperasi yang konon dibangun untuk melindungi para petani.

Menciptakan dan menjaga pertanian secara utuh dari hulu hingga ke hilir: dari penamanan, pemeliharaan, masa panen, proses pengolahan hasil panen hingga transaksi penjualan, sudah tentu berarti membangun suatu siklus yang sangat kompleks. Berbagai gagasan untuk itu pun boleh lahir. Tetapi persoalannya ternyata kembali kepada sejauh mana komitmen kebersamaan juga bisa dibangun untuk mendukung implementasinya. Komitmen kebersamaan ternyata adalah juga merupakan bagian dari infrastruktur yang harus nyata ada.

Karena seperti kenyataan saat ini, niat, gagasan dan langkah pemerintah sudah nyata-nyata ada dan patut dihargai, tetapi apakah elemen-elemen pendukungnya sudah kompak? Apakah stake holdernya sudah mumpuni? Kata mumpuni di sini tentulah bukan berarti sebatas ahli, tetapi apakah mereka juga sudah cekatan dan paham dengan filosofi sesuatu yang sedang dibangun tersebut? Itulah masalahnya. Masalah pertanian kita!

nanoq da kansas