Rabu, 16 Juni 2010

Fenomena “Mafia Koperasi” dan Gurita Lintah Darat di Masyarakat

BAHWA bangsa kita ini termasuk jenis kanibal, bisa jadi benar adanya. Praktek saling memakan satu sama lain, terutama yang kaya terhadap yang miskin, yang berkecukupan terhadap yang tak berdaya, yang punya kuasa terhadap yang jelata, adalah pemandangan biasa sehari-hari. Bohong dan munafik sekali rasanya bila di setiap kesempatan kita mengaku-aku sebagai bangsa yang penuh toleran, yang selalu bersedia menolong sesama tanpa memandang status, tanpa pamrih, yang mengerti dan simpati terhadap mereka yang sedang terhimpit.

Kalau pun masih ada sedikit ketulusan, itu semata-mata hanya tersisa di sesama kalangan miskin, kalangan yang kehidupannya sama-sama masih terhimpit. Hanya pada kalangan warga kecil dan miskinlah kita masih bisa melihat sedikit nilai-nilai ketulusan untuk saling menolong tanpa hitung-hitungan untung-rugi. Sementara di luar itu, status sosial, status ekonomi, justru semakin nyata-nyata membuat jurang pemisah agar satu sama lainnya tak bisa saling menyentuh.

Lihatlah diri kita saat ini. Tidak lebih dari sekelompok mahluk yang hidup dari berbagai perilaku koruptif, manipulatif dan premanisme. Yang punya kedudukan di atas sibuk dengan berbagai hasrat korupsi dan manipulasi. Yang di bawah sibuk dengan perilaku libas-melibas. Kekuasaan adalah jalan menuju kejayaan pribadi. Dan demi kekayaan di antara kita ada yang tidak segan-segan untuk menempuh jalan hidup seperti drakula, yakni mengisap darah orang lain untuk menambah kekuatan sendiri.

Praktek “Bank Harian”
Entah tahu entah tidak, entah termonitor atau tidak oleh pemerintah dalam hal ini aparat yang ada di tingkat paling bawah, saat ini perilaku lintah darat atau rentenir di masyarakat semakin menggurita saja. Praktek yang jauh dari nilai-nilai manusiawi dan bahkan sama sekali bertentangan dengan semangat Pancasila yang menjadi dasar pijak berkehidupan dan berperilaku kita sebagai sebuah bangsa, terbiarkan begitu saja. Padahal, akibat dari merajalelanya para lintah darat jelas-jelas sangat mengganggu dan merugikan proses pembangunan peningkatan kesejahteraan masyarakat kurang mampu atau yang masih bedara di garis kemiskinan.

Salah satu contoh kasat mata dari perilaku lintah darat atau penghisapan darah warga miskin oleh mereka yang punya modal, adalah apa yang disebut masyarakat sebagai “bank harian”. Praktek rentenir terselubung ini biasa dilakukan oleh oknum-oknum pegawai koperasi, pegawai LPD atau juga pribadi-pribadi pemilik modal besar. Bahkan, oknum-oknum lintah darat dalam modus ini bisa mempekerjakan beberapa orang pegawai untuk menjalankan bisnisnya dengan sasaran mulai dari para pedagang kecil di dalam pasar umum hingga warung-warung warga di pelosok.

Praktek bank harian adalah perilaku pemberian modal kepada warga masyarakat yang punya usaha kecil-kecilan semacam warung atau lapak di pasar. Sebagian besar oknum-oknum pemodal bank harian ini adalah para pegawai koperasi yang kini banyak bermunculan, oknum pegawai LPD, dan ada juga dari kalangan PNS.

Berdasarkan penuturan beberapa warga masyarakat yang menjadi nasabah bank harian ini, mereka terpaksa mau meminjam modal usaha dari mereka karena sulit dan lamanya proses peminjaman modal usaha dari lembaga-lembaga resmi yang ada. “Saya pernah mencoba pinjam modal di sebuah koperasi. Prosesnya berbelat-belit dan lama. Tetapi oleh salah seorang pegawainya saya ditawari “program bank harian” yang katanya merupakan salah satu produk koperasi mereka. Anehnya, ketika saya mau menerima tawaran tersebut, sore harinya modal yang saya pinjam langsung keluar dan dibawakan ke rumah. Saat itu saya pinjam Rp. 500 ribu. Syaratnya cuma sebuah kwitansi. Tidak ada persyaratan lain lagi. Model cicilannya adalah harian dengan jumlah Rp. 3.500 untuk setiap Rp. 100.000. Jadi kalau pinjaman Rp. 500.000, cicilan hariannya adalah Rp. 17.500. Jangka waktu pelunasan adalah 40 hari,” demikian penuturan seorang pedagang ceraki di pasar umum Negara, Jembrana.

Seorang pemilik warung di Kecamatan Melaya juga bercerita sama persis. “Ya, memang begitu aturannya bank harian. Saya juga punya pinjaman Rp. 300.000 pada seorang agen bank harian dari Desa Tukadaya,” ujar Ibu Ketut, pemilik warung tersebut.

Ditanya mengenai keuntungan dengan meminjam modal usaha dari bank harian, semua pemilik warung yang dihubungi media ini mengaku tidak ada. “Sebenarnya tidak ada untungnya sama sekali. Malah kalau dihitung-hitung justru menggerogoti warung sendiri karena bunganya sama dengan bunga menetap sebesar 40 persen selama 40 hari, atau 10 persen perhari. Warung macam apa yang bisa mendapat untung 10 persen perhari? Tidak ada. Keuntungan warung-warung kecil yang ada di desa-desa ini paling banyak antara 3 sampai 5 persen perhari,” jelas Ibu Ketut.

Sebagian besar para pemilik warung dan pedagang pasar mengaku, bahwa mereka terpaksa meminjam uang dari pelaku bank harian bukan untuk menambah modal usaha, tetapi semata-mata karena keperluan mendadak lainnya. Warung yang mereka miliki adalah lebih sebagai jaminan atau boreh. “Saya meminjam uang di bank harian itu karena untuk keperluan sekolah anak. Tahun lalu, seorang anak saya melanjutkan ke SMP dan satunya lagi ke SMA. Saya perlu uang untuk biaya beli pakaian dan buku-buku mereka. Saya terpaksa meminjam di bank harian itu karena perlu dana cepat. Jadi warung saya inilah jaminannya. Lagi pula, bank-bank harian itu hanya mau memberi pinjaman kepada warga yang punya usaha warung,” tutur Ibu Gusti, seorang pemilik warung di Kecamatan Mendoyo.

Ibu Gusti yang suaminya seorang petani ini juga mengaku, gara-gara meminjam uang di bank harian itu warungnya sempat hampir bangkrut. “Tanpa terasa setiap hari modal warung saya digerogoti sedikit demi sedikit. Selama punya hutang di bank harian itu saya sama sekali tak mendapat keuntungan dari warung, tapi malah memakan modal yang sudah ada. Hampir saja saya bangkrut kalau tidak dibantu hasil kebun,” tandasnya.

“Makanya jangan heran, banyak sekali warung yang justru gulung tikar gara-gara meminjam uang di bank harian itu. Sementara orang-orang yang menjalankan bisnis bank harian di desa-desa itu cepat sekali kaya. Mereka seperti mafia. Dengan modal 10 juta rupiah saja, dalam dua tahun mereka sudah mampu membeli tanah, sapi dan bahkan mobil. Itu sudah banyak contohnya,” demikian seorang tokoh masyarakat berkomentar .

Siasat Para Rentenir
Lain mafia bank harian, lain pula jaringan para rentenir. Para rentenir saat ini justru tidak semuanya berasal dari oknum-oknum yang memang merupakan orang berpunya. Praktek rentenir saat ini berkembang justru dengan memanfaatkan berbagai macam dana bantuan pemerintah yang digulirkan untuk memberdayakan warga masyarakat kurang mampu.

Kurang jeli dan tidak intensnya pembinaan atau pun pendampingan pemerintah di dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat melalui berbagai bantuan dana bergulir saat ini, justru dijadikan kesempatan emas oleh oknum-oknum tertentu di pedesaan dengan menjadikannya sebagai peluang usaha rentenir. Adapun modus yang dipakai adalah dengan berpura-pura membentuk sebuah kelompok masyarakat (Pokmas) usaha kecil dan menengah (UKM), mulai dari UKM industri rumah tanggga hingga UKM peternakan. Melalui Pokmas UKM yang mereka bentuk, oknum-oknum tersebut meminjam modal usaha kepada pemerintah atau bank-bank penyelenggara bantuan kredit usaha rakyat (KUR).

Sejatinya, proses untuk mendapatkan bantuan pinjaman dana bergulir atau pun KUR, dapat dikatakan sudah cukup ketat. Misalnya, sebuah UKM harus mendapatkan rekomendasi dari kelian banjar, kepala desa serta petugas pengawas lapangan (PPL) kegiatan terkait. Monitoring dari instansi yang membidangi kegiatan Pokmas UKM pun sudah dilakukan. Sayangnya, para oknum pelaku rentenir di desa seringkali dengan mudah bisa memperdayai petugas maupun aparat.

Beberapa waktu lalu misalnya, secara tak sengaja media ini memergoki langsung rencana sebuah pokmas peternak sapi di sebuah desa yang sedang menyiapkan berbagai persyaratan untuk mengamprah KUR di BRI. Dengan blak-blakan salah seorang anggota Pokmas tersebut menuturkan, bahwa tujuan mereka untuk meminjam KUR bukan sepenuhnya untuk modal membeli sapi. “Terus terang saja, hanya beberapa orang dari kami yang benar-benar akan membeli sapi. Sebagian besar yang lainnya adalah untuk modal ‘nyalanan pipis’ (praktek meminjamkan uang dengan pola rentenir-red). Itu sudah biasa kok,” demikian warga tersebut bercerita dengan lugu. Cerita kemudian berlanjut, bahwa tidak sedikit KUR dan bantuan dana bergulir yang kini dimanfaatkan oknum-oknum rentenir untuk menjalan usaha akal-akalannya.

Seorang rentenir bahkan tanpa rasa berdosa mengungkapkan usaha ilegalnya kepada media ini. “Bagaimana lagi ya? Soalnya memang banyak warga yang memerlukan. Mereka tidak bisa mencari pinjaman di tempat lain, maka mereka meminjam pada saya. Karena saya juga kekurangan modal, maka saya cari modal lewat KUR. Kebetulan saya ikut kelompok ternak yang mendapatkan KUR dari BRI,” ujar oknum tersebut dengan santai.

Ditanya lebih lanjut, oknum tersebut mengakui dengan modal dari KUR dirinya cukup banyak mendapat keuntungan. “Lewat KUR dari BRI, bunga pinjaman kan hanya 0,5 persen. Sementara saya sudah tidak ingin membeli ternak lagi karena sudah punya beberapa ekor sapi. Daripada uangnya nganggur, maka saya pinjamkan kepada warga atau tetangga yang memerlukan. Saya tidak banyak menarik bunga. Cuma 5 persen saja. Saya tahu, ada banyak orang yang menjalankan uang dengan bunga 10 persen. Padahal dengan bunga lima persen saja untungnya sudah banyak,” tuturnya.

Memang miris sekali rasanya mendengarkan serta membayangkan perilaku lintah darat yang kini semakin menggurita saja di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Tetapi demikianlah fakta yang ada. Siapa yang patut dan berwewenang untuk memperbaiki kondisi ini?

nanoq da kansas

Senin, 29 Desember 2008

Memandang Jembrana dari Timor

Minggu terakhir Nopember yang lalu, saya diundang ke Kota Kupang – NTT untuk menghadiri acara Konsolidasi Bhinneka Tunggal Ika Regio Sunda Kecil, Provinsi Papua dan Papua Barat. Di sela-sela padatnya acara selama empat hari tersebut, saya sempat berkeliling kota Kupang dan sekitarnya, bertemu dengan masyarakat setempat untuk melakukan “studi banding kecil-kecilan”, memperbandingkan wilayah Kotamadya Kupang dengan Kabupaten Jembrana tanah kelahiran dan tempat tinggal saya. Berikut ini adalah catatan kecil saya dari Kupang.

TENTU saja sungguh berbeda antara Kabupaten Jembrana dan Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya Pulau Timor. Jembrana yang sebagian kawasannya adalah hutan, persawahan, perkebunan dan pantai, tampak begitu hijau sebagaimana kawasan lain di Bali, sementara sebagian besar kawasan Timor terlihat lebih coklat karena tanahnya berkarang dengan cuaca yang lebih panas. Tanah Jembrana dengan mudah menerima tanaman apa saja, sedangkan tanah Timor hanya bisa menghidupi tanaman tertentu yang harus lebih kuat terhadap kekeringan. Perkebunan di Jembrana bisa ditanami setiap saat, lalu persawahannya bisa ditanami secara teratur minimal dua kali dalam setahun karena didukung sistem irigasi yang tertata baik serta masa penghujan yang lebih panjang, tetapi di Timor pertanian sepenuhnya dilakukan dengan pola tadah hujan.

Di bidang pembangunan fisik, perbedaan antara Kabupaten Jembrana dan Timor sangatlah terasa. Sebagaimana sebagian besar kawasan timur Indonesia, Timor adalah salah satu yang terkesan terlupakan, termarginalkan dari obsesi pembangunan nasional. Padahal, seperti yang dituturkan oleh para elit setempat di Timor, kawasan ini merupakan pintu gerbang selatan Indonesia, dan juga memiliki potensi tidak sedikit untuk menyumbang kas negara, baik dari potensi kelautan, perkayuan (cendana salah satunya), maupun potensi pertambangan. Timor menyimpan kekayaan alam seperti minyak bumi, uranium, mangaan, pasir, batu marmer, kerakal berwarna, pulau2 nan indah, kain ikat dll. Hanya saja, seluruh potensi tersebut hingga kini masih belum terkelola secara optimal, bahkan sebagiannya barangkali terlanjur tergadai kepada negara tertentu atau pemilik modal entah dari mana.

Itulah sebabnya, infrastruktur penopang birokrasi, penopang perekonomian hingga penopang pendidikan masyarakat di Timor jauh ketinggalan. 90 persen kondisi jalan raya di Kupang sebagai ibukota provinsi, sepanjang tahun dalam kondisi rusak serta tidak tertata. Pendek kata, di Timor dan kota Kupang, kita akan mendapatkan pemandangan betapa timpangnya pembangunan di negeri ini.

Otonomi Daerah
Tetapi sejatinya, untuk saat ini tidaklah terlalu salah untuk memperbandingkan Kabupaten Jembrana dengan NTT (Timor) atau daerah mana pun di tanah air. Sebab sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah dan dihapusnya sentralisasi birokrasi pemerintahan di Jakarta, toh setiap daerah (seharusnya) memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk mengelola kawasannya sendiri. Dan Kabupaten Jembrana pra-otonomi daerah, kondisinya toh juga sama persis dengan daerah-daerah lain yang senantiasa termarginalkan, terlupakan dari proses besar pembangunan regional maupun nasional.

Dengan mudah kita bisa mengingat, bahwa dulu Kabupaten Jembrana adalah salah satu kabupaten miskin di Bali yang tak punya daya apa-apa untuk menolong dirinya sendiri. Dengan pertanian sebagai satu-satunya potensi yang dimiliki tetapi mesti selalu tunduk dengan kebijakan-kebijakan sentral di Jakarta, Jembrana saat itu bahkan malu untuk mengatakan dirinya sebagai bagian dari surga dunia bernama Bali. Karena sekali lagi, ketimpangan pembangunan dan ketakberdayaan secara lokal, merupakan penyakit akut kabupaten paling barat provinsi Bali ini saat itu.

Mengutip pernyataan yang sering dilontarkan Bupati Jembrana, Prof. I Gede Winasa, bahwa era otonomi daerah sejatinya adalah anugerah bagi setiap daerah di Indonesia. Dan idealnya memang demikian. Karena, di samping mendapat kesempatan luas untuk mengelola sendiri segala potensi lokal yang dimiliki, setiap daerah (terutama kabupaten) di Indonesia pun mendapat jatah yang sama proporsinya dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus (DAK). Dan Kabupaten Jembrana sebagai daerah minus potensi sumber daya alam, semata-mata hanya mengandalkan DAU dan DAK untuk bangkit mengejar ketertinggalannya. Sementara itu, potensi lokal yang bisa diberdayakan di Jembrana ternyata tidaklah lebih dari hanya berupa optimalisasi pengelolaan di bidang perpajakan lokal serta jasa parkir.

Bermodal Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang di awal era otda hanya berkisar 4 atau 5 milyar, kemudian ditambah DAU dan DAK, Kabupaten Jembrana berbenah diri. Bahwa kemudian, otonomi daerah oleh Kabupaten Jembrana diperlakukan sebagai momentum untuk mengembalikan kadaulatan rakyat atas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apa yang dimaksud kedaulatan rakyat? Tiada lain adalah kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih adil dan terasa nyaman, yang pada tataran dasarnya meliputi hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan, serta hak atas peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Ketiga hak dasar masyarakat ini, oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana diwujudkan melalui program subsidi biaya pendidikan (SPP Gratis), subsidi biaya kesehatan (asuransi kesehatan masyarakat) serta peningkatan daya beli masyarakat dengan motivasi yang konsisten terhadap pengembangan entrepreneurship masyarakat itu sendiri.

Begitulah kemudian Pemerintah Kabupaten Jembrana bersama masyarakatnya mewujudkan sekaligus menikmati setiap tapak pembangunan secara bersama-sama, secara proporsional dan sedapat-dapatnya berkeadilan. “Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa Kabupaten Jembrana saat ini memang merupakan inspirasi pembangunan bagi negeri ini,” demikian Sugi Lanus seorang aktivis pada sebuah obrolan seputar otda belum lama ini.

Politis
Tetapi sebuah negara, sebuah wilayah, adalah politik. Segala yang ada dan berlaku di dalamnya diatur dan dinegosiasi melalui proses politik. Dan untuk selera Indonesia, politik belumlah tentu merupakan representasi kebersamaan antara pemerintah (pengelola negara) dengan masyarakat (rakyat).

Maka apa yang terjadi di Jembrana, kendati sejauh ini pembangunan peningkatan kesejahteraan bersama jelas-jelas menunjukkan “keberhasilan” (setidaknya dalam definisi Indonesia), toh belum ada daerah lain yang mencoba untuk memanutinya. Ribuan studi atas fenomena Jembrana telah dilakukan oleh berbagai daerah kabupaten, provinsi, lembaga pemerintah, legislatif, LSM serta lembaga lainnya yang ada di tanah air, tetapi toh semua itu berhenti hanya pada catatan masing-masing lembaga tersebut sebagai sebuah kenangan perjalanan wisata. Sementara untuk mengimplementasikannya di daerah masing-masing, sampai saat ini kita belum melihat adanya keiklasan dari masing-masing pemimpin atau para kepala daerah yang pernah melakukan studi ke Jembrana tersebut.

Sekali lagi, “karena mereka (daerah lain), tidak memahami filosofi politik pembangunan yang dilakukan Jembrana,” demikian Bupati Winasa. Dan ini terbukti dari apresiasi yang disampaikan seorang pejabat pemerintah di Kabupaten Kupang – Timor atas Jembrana. “Jembrana memang sudah terbukti, tetapi belum teruji!”

Yang dimaksud oleh seorang pejabat pemerintah di Kupang ini adalah, bahwa keberhasilan pembangunan di Kabupaten Jembrana saat ini semata-mata karena tangan dingin seorang Prof. Winasa sebagai pemimpin pemerintahan alias bupati. Seorang bupati yang dengan kaca mata kekuasaannya berhasil membaca dan memahami keberadaan serta kebutuhan mendasar masyarakatnya secara sederhana tetapi mengena pada sasaran. “Tetapi bagaimana jika nanti Prof. Winasa berhenti menjadi bupati? Apakah penggantinya juga akan mampu seperti dia mengendalikan birokrasi pemerintahan menjadi pelayan masyarakat seperti saat ini? Inilah yang belum teruji!” demikian pejabat tersebut dengan raut muka serius.

“Karena apa yang dicapai oleh Kabupaten Jembrana saat ini adalah sebuah keniscayaan ketika seorang pemimpin atau penguasa secara iklas menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengembalikan kedaualatan rakyatnya. Dan ini pasti punya resiko yang besar. Pemimpin semacam Pak Winasa bisa jadi akan dituduh sebagai tangan besi oleh lawan-lawan politiknya karena dia tidak punya kompromi politik dengan legislatif misalnya, selain berkompromi dengan kebutuhan kesejahteraan rakyatnya. Dan di negeri ini, pejabat atau pemimpin mana yang berani tidak berkompromi politik terutama dengan hegemoni partai politik mayoritas? Tidak ada!” lanjutnya.

Di sisi lain, lanjut pejabat yang tak mau disebutkan namanya itu, kebijakan yang oleh Pak Winasa diterapkan di Jembrana telah “mengganggu” sistem yang sudah mapan selama ini. Entah itu sistem manajemen keuangan, sistem tatapemerintahan atau birokrasi yang baku, dan lain sebagainya. Sementara itu, tidak akan ada pejabat atau penguasa lain di negeri ini yang rela mengganggu sistem untuk bisa berbagi dengan rakyatnya. Bagi pejabat atau penguasa lain, inovasi yang dilakukan Pak Winasa ini justru merugikan kekuasaan itu sendiri. Jadi hal ini merupakan resiko yang cukup riskan jika nanti jabatan Pak Winasa sebagai bupati berakhir. “Pertanyaan kuncinya adalah, akan adakah penguasa lain yang nanti mampu menjalankan inovasi yang digagas dan dilakukan Kabupaten Jembrana pasca Bupati Winasa? Jadi, ujian belum datang, dan kita semua akan melihat apakah nanti Jembrana lulus dari ujian tersebut? Bahkan kalau lulus yang artinya sudah teruji pun, belum tentu akan banyak daerah yang iklas mengikuti jejak Jembrana!” pungkas pejabat yang cukup dikenal kritis di Kupang tersebut.

nanoq da kansas