TENTU saja sungguh berbeda antara Kabupaten Jembrana dan Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya Pulau Timor. Jembrana yang sebagian kawasannya adalah hutan, persawahan, perkebunan dan pantai, tampak begitu hijau sebagaimana kawasan lain di Bali, sementara sebagian besar kawasan Timor terlihat lebih coklat karena tanahnya berkarang dengan cuaca yang lebih panas. Tanah Jembrana dengan mudah menerima tanaman apa saja, sedangkan tanah Timor hanya bisa menghidupi tanaman tertentu yang harus lebih kuat terhadap kekeringan. Perkebunan di Jembrana bisa ditanami setiap saat, lalu persawahannya bisa ditanami secara teratur minimal dua kali dalam setahun karena didukung sistem irigasi yang tertata baik serta masa penghujan yang lebih panjang, tetapi di Timor pertanian sepenuhnya dilakukan dengan pola tadah hujan.
Di bidang pembangunan fisik, perbedaan antara Kabupaten Jembrana dan Timor sangatlah terasa. Sebagaimana sebagian besar kawasan timur Indonesia, Timor adalah salah satu yang terkesan terlupakan, termarginalkan dari obsesi pembangunan nasional. Padahal, seperti yang dituturkan oleh para elit setempat di Timor, kawasan ini merupakan pintu gerbang selatan Indonesia, dan juga memiliki potensi tidak sedikit untuk menyumbang kas negara, baik dari potensi kelautan, perkayuan (cendana salah satunya), maupun potensi pertambangan. Timor menyimpan kekayaan alam seperti minyak bumi, uranium, mangaan, pasir, batu marmer, kerakal berwarna, pulau2 nan indah, kain ikat dll. Hanya saja, seluruh potensi tersebut hingga kini masih belum terkelola secara optimal, bahkan sebagiannya barangkali terlanjur tergadai kepada negara tertentu atau pemilik modal entah dari mana.
Itulah sebabnya, infrastruktur penopang birokrasi, penopang perekonomian hingga penopang pendidikan masyarakat di Timor jauh ketinggalan. 90 persen kondisi jalan raya di Kupang sebagai ibukota provinsi, sepanjang tahun dalam kondisi rusak serta tidak tertata. Pendek kata, di Timor dan kota Kupang, kita akan mendapatkan pemandangan betapa timpangnya pembangunan di negeri ini.
Otonomi Daerah
Tetapi sejatinya, untuk saat ini tidaklah terlalu salah untuk memperbandingkan Kabupaten Jembrana dengan NTT (Timor) atau daerah mana pun di tanah air. Sebab sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah dan dihapusnya sentralisasi birokrasi pemerintahan di Jakarta, toh setiap daerah (seharusnya) memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk mengelola kawasannya sendiri. Dan Kabupaten Jembrana pra-otonomi daerah, kondisinya toh juga sama persis dengan daerah-daerah lain yang senantiasa termarginalkan, terlupakan dari proses besar pembangunan regional maupun nasional.
Dengan mudah kita bisa mengingat, bahwa dulu Kabupaten Jembrana adalah salah satu kabupaten miskin di Bali yang tak punya daya apa-apa untuk menolong dirinya sendiri. Dengan pertanian sebagai satu-satunya potensi yang dimiliki tetapi mesti selalu tunduk dengan kebijakan-kebijakan sentral di Jakarta, Jembrana saat itu bahkan malu untuk mengatakan dirinya sebagai bagian dari surga dunia bernama Bali. Karena sekali lagi, ketimpangan pembangunan dan ketakberdayaan secara lokal, merupakan penyakit akut kabupaten paling barat provinsi Bali ini saat itu.
Mengutip pernyataan yang sering dilontarkan Bupati Jembrana, Prof. I Gede Winasa, bahwa era otonomi daerah sejatinya adalah anugerah bagi setiap daerah di Indonesia. Dan idealnya memang demikian. Karena, di samping mendapat kesempatan luas untuk mengelola sendiri segala potensi lokal yang dimiliki, setiap daerah (terutama kabupaten) di Indonesia pun mendapat jatah yang sama proporsinya dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus (DAK). Dan Kabupaten Jembrana sebagai daerah minus potensi sumber daya alam, semata-mata hanya mengandalkan DAU dan DAK untuk bangkit mengejar ketertinggalannya. Sementara itu, potensi lokal yang bisa diberdayakan di Jembrana ternyata tidaklah lebih dari hanya berupa optimalisasi pengelolaan di bidang perpajakan lokal serta jasa parkir.
Bermodal Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang di awal era otda hanya berkisar 4 atau 5 milyar, kemudian ditambah DAU dan DAK, Kabupaten Jembrana berbenah diri. Bahwa kemudian, otonomi daerah oleh Kabupaten Jembrana diperlakukan sebagai momentum untuk mengembalikan kadaulatan rakyat atas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apa yang dimaksud kedaulatan rakyat? Tiada lain adalah kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih adil dan terasa nyaman, yang pada tataran dasarnya meliputi hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan, serta hak atas peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Ketiga hak dasar masyarakat ini, oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana diwujudkan melalui program subsidi biaya pendidikan (SPP Gratis), subsidi biaya kesehatan (asuransi kesehatan masyarakat) serta peningkatan daya beli masyarakat dengan motivasi yang konsisten terhadap pengembangan entrepreneurship masyarakat itu sendiri.
Begitulah kemudian Pemerintah Kabupaten Jembrana bersama masyarakatnya mewujudkan sekaligus menikmati setiap tapak pembangunan secara bersama-sama, secara proporsional dan sedapat-dapatnya berkeadilan. “Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa Kabupaten Jembrana saat ini memang merupakan inspirasi pembangunan bagi negeri ini,” demikian Sugi Lanus seorang aktivis pada sebuah obrolan seputar otda belum lama ini.
Politis
Tetapi sebuah negara, sebuah wilayah, adalah politik. Segala yang ada dan berlaku di dalamnya diatur dan dinegosiasi melalui proses politik. Dan untuk selera Indonesia, politik belumlah tentu merupakan representasi kebersamaan antara pemerintah (pengelola negara) dengan masyarakat (rakyat).
Maka apa yang terjadi di Jembrana, kendati sejauh ini pembangunan peningkatan kesejahteraan bersama jelas-jelas menunjukkan “keberhasilan” (setidaknya dalam definisi Indonesia), toh belum ada daerah lain yang mencoba untuk memanutinya. Ribuan studi atas fenomena Jembrana telah dilakukan oleh berbagai daerah kabupaten, provinsi, lembaga pemerintah, legislatif, LSM serta lembaga lainnya yang ada di tanah air, tetapi toh semua itu berhenti hanya pada catatan masing-masing lembaga tersebut sebagai sebuah kenangan perjalanan wisata. Sementara untuk mengimplementasikannya di daerah masing-masing, sampai saat ini kita belum melihat adanya keiklasan dari masing-masing pemimpin atau para kepala daerah yang pernah melakukan studi ke Jembrana tersebut.
Sekali lagi, “karena mereka (daerah lain), tidak memahami filosofi politik pembangunan yang dilakukan Jembrana,” demikian Bupati Winasa. Dan ini terbukti dari apresiasi yang disampaikan seorang pejabat pemerintah di Kabupaten Kupang – Timor atas Jembrana. “Jembrana memang sudah terbukti, tetapi belum teruji!”
Yang dimaksud oleh seorang pejabat pemerintah di Kupang ini adalah, bahwa keberhasilan pembangunan di Kabupaten Jembrana saat ini semata-mata karena tangan dingin seorang Prof. Winasa sebagai pemimpin pemerintahan alias bupati. Seorang bupati yang dengan kaca mata kekuasaannya berhasil membaca dan memahami keberadaan serta kebutuhan mendasar masyarakatnya secara sederhana tetapi mengena pada sasaran. “Tetapi bagaimana jika nanti Prof. Winasa berhenti menjadi bupati? Apakah penggantinya juga akan mampu seperti dia mengendalikan birokrasi pemerintahan menjadi pelayan masyarakat seperti saat ini? Inilah yang belum teruji!” demikian pejabat tersebut dengan raut muka serius.
“Karena apa yang dicapai oleh Kabupaten Jembrana saat ini adalah sebuah keniscayaan ketika seorang pemimpin atau penguasa secara iklas menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengembalikan kedaualatan rakyatnya. Dan ini pasti punya resiko yang besar. Pemimpin semacam Pak Winasa bisa jadi akan dituduh sebagai tangan besi oleh lawan-lawan politiknya karena dia tidak punya kompromi politik dengan legislatif misalnya, selain berkompromi dengan kebutuhan kesejahteraan rakyatnya. Dan di negeri ini, pejabat atau pemimpin mana yang berani tidak berkompromi politik terutama dengan hegemoni partai politik mayoritas? Tidak ada!” lanjutnya.
Di sisi lain, lanjut pejabat yang tak mau disebutkan namanya itu, kebijakan yang oleh Pak Winasa diterapkan di Jembrana telah “mengganggu” sistem yang sudah mapan selama ini. Entah itu sistem manajemen keuangan, sistem tatapemerintahan atau birokrasi yang baku, dan lain sebagainya. Sementara itu, tidak akan ada pejabat atau penguasa lain di negeri ini yang rela mengganggu sistem untuk bisa berbagi dengan rakyatnya. Bagi pejabat atau penguasa lain, inovasi yang dilakukan Pak Winasa ini justru merugikan kekuasaan itu sendiri. Jadi hal ini merupakan resiko yang cukup riskan jika nanti jabatan Pak Winasa sebagai bupati berakhir. “Pertanyaan kuncinya adalah, akan adakah penguasa lain yang nanti mampu menjalankan inovasi yang digagas dan dilakukan Kabupaten Jembrana pasca Bupati Winasa? Jadi, ujian belum datang, dan kita semua akan melihat apakah nanti Jembrana lulus dari ujian tersebut? Bahkan kalau lulus yang artinya sudah teruji pun, belum tentu akan banyak daerah yang iklas mengikuti jejak Jembrana!” pungkas pejabat yang cukup dikenal kritis di Kupang tersebut.
nanoq da kansas